Di dalam pembelajaran matematika,
matematika adalah pikiran siswa itu sendiri. Jadi, siswa berhak untuk memilih
bagaimana cara mempelajari matematika dengan mengeksplorasikan ide atau gagasan
yang ada di dalam pikiran. Seperti apa yang dikemukakan di dalam artikel di
atas, siswa dapat membangun matematika di dalam pemikirannya sendiri. Konsep dari
Architectonic Mathematics berasumsi dasar tentang bagaimana seorang siswa
memperoleh pemahaman dalam matematika serta mampu membangun konsep matematika
baik melalui logika atau pemahaman serta pengamatan terhadap fenomena
matematika. Architectonic Mathematics ini tidak berpaku pada diri dari seorang siswa
saja melainkan dari siswa-siswa yang ada di dalam pembelajaran matematika
bahkan guru yang mana architectonic mathematicsnya bersifat formal abstrak.
Hakikat siswa belajar
matematika didapat ketika terjalin suatu interaksi antara subjectivity of mathematics
dengan objectivity of mathematics. Hal ini sepeti apa yang dikemukakan oleh Paul
Ernest (2002) dalam Bukunya yang berjudul The Philosophy of Mathematics
Education. Architectonic Mathematics dapat dibangun dengan berbagai cara
diantaranya kegiatan diskusi antar siswa, praktik langsung ataupun memberi kritik.
Artikel mengenai Architectonic Mathematics membuka wawasan baru kepada kita
sebagai calon guru SD yang dapat dijadikan sebagai suatu pedoman ketika
nantinya kita telah dihadapkan dengan realitas kegiatan pembelajaran sebagai
guru guna mewujudkan pembelajaran yang inovatif yang mana berorientasi kepada
siswa.