Jumat, 22 Maret 2013

Refleksi "Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 1: Intuisi dalam Matematika"


1.      Dari artikel di atas, dapat diperoleh informasi bahwa intuisi memiliki peran penting dalam kegiatan pembelajaran matematika. Intuisi dapat diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidup siswa. Intuisi dapat pula mengarahkan seseorang kepada struktur utama pikiran pada dirinya. Selanjutnya, intuisi itu sendiri tidak dapat didefinisikan atau dijelaskan secara terperinci, karena intuisi datang tanpa adanya penalaran rasional. Oleh sebab itu, intuisi matematika pada siswa, hendaknya dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran matematika. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan matematika dari hasil pemahaman siswa. Dengan demikian, siswa tidak akan kehilangan intuisi.

Refleksi "Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 6: Apakah Matematika itu Ilmu?Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 6: Apakah Matematika itu Ilmu?"


Dari artikel di atas dapat diketahui bahwa matematika itu bisa menjadi suatu ilmu dan bisa juga tidak. Intuisi matematika sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Ruang dan waktu menjadi unsur penting dalam pembentukan matematika sebagai ilmu, karena hakikat intuisi adalah ruang dan waktu dan matematika dibangun di atas intuisi. Berdasakan artikel di atas disimpulkan jika pure logic bukanlah ilmu, karena masih a priori dan bersifat analitik. Sedangkan  Matematika sebagai ilmu mempunyai sifat sintetik a priori.

Kamis, 21 Maret 2013

Refleksi "IDENTIFIKASI MASALAH PSIKOLOGI MENGAJAR MATEMATIKA, PSIKOLOGI BELAJAR MATEMATIKA DAN PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA"


Psikologi dan matematika memiliki kaitan erat dalam kegiatan pembelajaran, baik pada siswa, ataupun guru. Berkaitan mengenai hubungan psikologi dengan matematika pada siswa, tugas yang membebani siswa tentu akan mempengaruhi psikologis siswa tersebut. Selanjutnya, keadaan psikologis siswa mempengaruhi motivasi atau semangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran matematika. Keadaan psikologis guru juga akan sangat mempengaruhi kegiatan pembelajaran matematika. Guru dalam kegiatan pembelajaran matematika dituntut untuk dapat mendidik semua siswa (mencakup keseluruhan kelas), tidak hanya siswa yang pandai atau yang duduk di depan saja. Diperlukan kemampuan seorang guru dalam memahami karakteristik siswa yang masing-masing berbeda. Dengan begitu, guru dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai untuk kegiatan pembelajaran matematika yang membuat siswa merasa nyaman dan senang belajar matematika. Guru sekreatif mungkin membuat kegiatan pembelajaran matematika itu menjadi pembelajaran inovatif sehingga siswa aktif dalam proses belajar matematika. Penerapan managemen emosi juga mempunyai pengaruh terhadap adanya hubungan erat psikologi dengan matematika antara siswa, guru, dengan pembelajaran matematika.

Refleksi "Mathematics and Language 10"


Saya sependapat dengan artikel Bapak di atas. Pelajar muda (peserta didik) memiliki hak untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Orang dewasa (guru) tidak dapat memaksakan kehendak kehidupan mereka kepada peserta didik, karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip pembelajaran inovatif, yang mana seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi dewasa ini, merupakan inovasi model pembelajaran yang  sesuai untuk diterapkan dalam kegiatan pembelajaran matematika. Matematika adalah diri peserta didik itu  sendiri. Peserta didik mempunyai hak untuk mengembangkan pemikiran serta kreatifitas  mereka dalam proses pembelajaran matematika, dimana suatu masalah matematika dapat diselesaikan dengan kegiatan diskusi yang tentunya didampingi dan diarahkan orang dewasa (guru). Adanya kemajuan teknologi dan informasi sesuai dengan perkembangan zaman, sangat mendukung terciptanya suasana pembelajaran inovatif. Peserta didik tidak pasif seperti dalam pembelajaran tradisional yang sampai sekarang masih banyak diterapkan oleh sebagian besar guru, dimana siswa hanya mendengarkan dan memperhatikan apa yang disampaikan sang guru, namun dalam pembelajaran inovatif siswa dituntut untuk aktif, mengeksplorasi ide-ide yang ada di dalam pemikiran mereka. Guru sebagai fasilitator mendampingi peserta didik, dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyenangi matematika itu sesuai dengan keinginan setulus hati dari peserta didik. Dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi, guru ataupun siswa lebih dimudahkan dalam mengembangkan inovasi pembelajaran matematika.

Rabu, 20 Maret 2013

Refleksi "Mathematics and Language 2"


Dari artikel di atas, dapat diperoleh bahwa permasalahan matematika sebenarnya terletak pada orang dewasa (guru). Selama ini, sebagian besar guru selalu memberikan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya kepada siswa. Siswa cenderung pasif, menerima pembelajaran dari sang guru. Dalam pembelajaran inovatif, guru merupakan fasilitator untuk siswa, bukan sebagai pusat pembelajaran matematika, karena siswa sendirilah pusat pembelajaran matematika. Guru tidak dapat memaksakan kehendaknya agar siswa menyukai matematika. Matematika merupakan pikiran siswa itu sendiri. Guru harus mampu memfasilitasi siswa dalam mempelajari matematika, mendampingi, mengarahkan serta memotivasi siswa agar dapat merasa nyaman dalam mengikuti kegiatan pembelajaran matematika. Bagaimana guru bersikap, tentu akan dilihat oleh siswa. Dalam kegiatan pembelajaran matematika, metode yang cocok juga akan menentukan keberhasilan proses pemebelajaran. Guru tidak hanya menggunakan metode ceramah ataupun demonstrasi, namun juga metode diskusi dimana siswa tidak hanya pasif menerima materi pembelajaran. Siswa pun juga dapat mengeksplorasi ide-ide yang ada di dalam pikiran mereka.

Refleksi "News Update: Koalisi Pendidikan Menolak Kurikulum 2013" Tolak Perubahan Kurikulum Pendidikan

Sebagaimana seperti artikel di atas, kurikulum 2013 memang menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat luas, baik dari pendidik, siswa, orang tua siswa, praktisi pendidikan ataupun ICW. Perubahan kurikulum yang terkesan buru-buru, menyebabkan berbagai kalangan menolak diadakannya perubahan kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013. Berbagai alasan yang menyatakan ketidaksetujuan muncul untuk menanggapi perubahan kurikulum di Indonesia, diantaranya yaitu belum maksimalnya peningkatan kualitas dari guru. Jika kurikulum berubah, tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit, baik untuk pengadaan buku, ataupun persiapan lainnya. Anggaran dana untuk perubahan kurikulum alangkah lebih baiknya digunakan untuk pelatihan guru-guru guna meningkatkan kualitas guru menjadi pendidik professional. Selain itu, hendaknya pemerintah dalam melakukan perubahan kurikulum memerhatikan riset dan melakukan evaluasi terhadap kurikulum 2006 serta melibatkan para guru dan pakar pedagogik dalam penyusunan kurikulum baru. Perubahan kurikulum tidak ada salahnya jika memang telah dilakukan persiapan yang matang, serta tujuan atau visinya jelas, guna menciptakan kehidupan bangsa serta pendidikan di Indonesia menuju arah yang lebih baik.

Model Pembelajaran Matematika (Refleksi Pertemuan ke-5)


Model pembelajaran yang diterapkan sekolah di Australia berbeda dengan model pembelajaran tradisional yang sebagian besar masih diterapkan di Indonesia. Hal ini terlihat dari proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Adanya diskusi antara siswa, guru mendampingi dan mengarahkan, serta memberikan motivasi agar tujuan pembelajaran tercapai. Di dalam kelas juga disediakan buah segar untuk dimakan oleh siswa. Tidak hanya itu, ada pula pembelajaran di luar kelas sehingga siswa memperoleh suasana belajar yang bervariasi dan tidak membosankan. Terdapat portofolio yang digunakan untuk mencatat aktifitas siswa. Jika di Indonesia orang tua tidak diizinkan untuk mendampingi anak dalam kegiatan pembelajaran, di Australia orang tua siswa dapat datang ke kelas untuk membantu kegiatan pembelajaran siswa (anaknya).
Hermeneutics of Life Theories dapat diartikan bahwa dunia itu terdiri dari lingkaran dan garis lurus. Lingkaran apabila ditarik garis lurus keluar maka akan menjadi spiral. Setiap titik spiral mempunyai tiga komponen, yaitu rutin, mendetail, dan semakin membesar. Hal tersebut menunjukkan hakikat alam semesta atau disebut juga sebagai hakikat manusia. Metode hermeunetika adalah menerjemahkan dan diterjemahkan. Di dalam pembelajaran matematika, guru menerjemahkan siswa, dan siswa menerjemahkan matematika. Di dalam proses kegiatan pembelajaran, harus ada daya dan usaha, ataupun inisiatif dan kemandirian, serta keberanian untuk berbicara.
Menurut para ahli Realistic Mathematic, matematika untuk anak usia SD masih diperbanyak dalam konteks dunia nyata yang ada di sekitar lingkungannya. Jadi, dimulai dari matematika konkret hingga menuju tahap matematika formal. Matematika realistik membagi proses pembelajaran menjadi empat tahap, yaitu matematika konkret, model konkret, model formal, dan matematika formal. Untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam matematika yang ditujukan kepada anak kecil, digunakan model-model matematika dalam membantu anak memperoleh pemahaman. Dalam fenomena matematika, apabila siswa tidak siap mengikuti pembelajaran matematika maka akan timbul menjadi sebuah bencana. Sedangkan apabila telah mempunyai kesiapan, maka dapat menjadi sebuah hiburan. Hal ini disebabkan karena matematika adalah diri siswa itu sendiri. Pembelajaran inovatif dapat didapatkan ketika siswa dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
Ilmu itu penting. Ilmu merupakan gabungan antara logika dengan pengalaman. Dalam hal ini, logika bersifat analitik a priori, sedangkan pengalaman bersifat sintetik a posteriori. Jadi, ilmu itu sendiri merupakan sintetik a priori. Sehingga, dalam kegiatan pembelajaran matematika, guru seharusnya menjadikan siswa itu sebagai subjek serta pusat pembelajaran. Dengan begitu siswa dapat mengeksplorasi ide yang ada dalam pikirannya.
Matematika murni ada di dalam pikiran. Menurut Ebbut and Straker (1995), matematika sekolah terdiri dari mencari penelusuran pola dan hubungan, kegiatan pemecahan masalah, investigasi, dan komunikasi. Selanjutnya, dalam mengajarkan matematika, ada tahapan atau tingkatan penjelasan yang seharusnya dibuat oleh guru yakni dimulai dari dunia nyata, pembentukan skema, membangun pengetahuan, kemudian formal abstrak. Hal ini agar siswa mudah memahami dengan proses dan dapat menemukan pemecahan masalah dengan pengetahuan serta pengalamannya sendiri.
Dimanapun, kapanpun, tentang apapun dan dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, setiap orang akan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu accountability (percaya) dan sustainability (terus). Dari wawasan yang didapat pada pertemuan kali ini, diperoleh bahwa sistem pembelajaran di negara Australia ataupun Jepang telah menerapkan sistem pembelajaran inovatif. Hal ini dapat kita ambil sebagai contoh untuk diterapkan pada sistem pembelajaran di Indonesia demi kemajuan pendidikan.

Pembelajaran Matematika Kelas 2 SD di Jepang (Refleksi Pertemuan ke-4)


Hakikat matematika menurut Ebbutt dan Straker dibagi menjadi 4 pengertian, yakni matematika adalah kegiatan penelusuran pola atau hubungan, matematika adalah kegiatan problem solving, matematika adalah kegiatan investigasi, dan matematika adalah komunikasi. Hal ini sejalan dengan sistem pembelajaran yang digunakan di negara Jepang. Pembelajaran matematika kelas 2 SD di Jepang telah menerapkannya, dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
a.    Metode yang digunakan guru adalah pembelajaran inovatif, yaitu siswa dijadikan subjek pembelajaran matematika
b.   Siswa melakukan diskusi dan mencari pemecahan masalah matematika dengan pengetahuan yang dimilikinya
c.    Guru mengarahkan siswa ketika diskusi agar tujuan pembelajaran yang diinginkan tercapai
d.   Guru memberikan suatu dorongan atau motivasi kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran
Dari beberapa indikator di atas, dapat diuraikan kembali untuk lebih jelasnya. Di dalam kegiatan pembelajaran matematika kelas 2 SD di Jepang, terdapat 2 guru yang saling bekerja sama menciptakan suasana belajar yang nyaman untuk siswa. Satu guru berada di depan, dan satu guru di belakang mengawasi kegiatan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran. Kelas dikondisikan dengan membagi siswa ke dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok melakukan diskusi membahas masalah matematika yang diberikan oleh sang guru. Guru memberikan lembar kerja kepada siswa. Kemudian siswa melakukan kegiatan mencari pola pemecahan masalah matematika yang disajikan guru dengan pemahaman mereka. Guru mengawasi kegiatan diskusi dan memberikan penjelasan ketika siswa mendapatkan kesulitan. Di saat itu juga, guru memberikan suatu bentuk motivasi kepada siswa agar siswa terpacu semangatnya dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
Siswa-siswa di Jepang mempunyai minat yang besar terhadap matematika. Dalam kegiatan pembelajaran, rasa ingin tahu siswa begitu besar terlihat dari antusias siswa ketika diskusi memecahkan masalah yang disajikan guru. Tidak hanya itu, keberanian siswa kelas 2 SD di Jepang patut diapresiasi karena dalam menyampaikan pendapatnya siswa tidak merasa malu ataupun takut salah. Guru memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengemukakan pendapatnya sehingga siswa pun aktif dalam kegiatan pembelajaran matematika. Proses kegiatan pembelajaran matematika kelas 2 SD di Jepang telah menciptakan komunikasi dua arah antara guru dan siswa yang terjalin dengan baik. Oleh karena itu, pembelajaran matematika yang nyaman dan menyenangkan untuk siswa pun tercipta.
Dalam kegiatan pembelajaran matematika di Indonesia, sebagian besar guru masih menerapkan sistem pembelajaran tradisional. Siswa masih dijadikan sebagai objek dalam pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif. Metode diskusi yang diterapkan guru masih belum sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan ke arah yang lebih baik dengan menerapkan ataupun mengambil contoh pembelajaran matematika di Jepang sehingga hakikat matematika sekolah dapat terwujud.

Metode Tepat, Hasil Maksimal Tercapai (Refleksi Pertemuan ketiga)


Ilmu merupakan gabungan dari pikiran dan pengalaman. Lebih lanjut, pikiran atau logika bersifat a priori yakni dapat memikirkan, ataupun merasakan yang belum terjadi. Sedangkan pengamatan matematika bersifat sintetik a posteriori yang berarti tidak dapat memikirkan ketika belum terjadi berdasarkan pengalaman. Matematika dapat menjadi ilmu ketika terjadi penggabungan kedua sifat tersebut, sehingga bersifat sintetik a priori. Serendah-rendahnya orang yang mencari ilmu adalah bermanfaaat bagi diri sendiri. Akan lebih tinggi derajatnya ketika ilmu yang didapatkannya bermanfaat bagi orang lain.
Di dalam pembelajaran matematika, matematika sekolah bersifat korespondensi, artinya cocok dengan pengamatan. Hal ini merupakan lawan dari koherensi, yakni berdasarkan janji atau kesepakatan. Setiap siswa mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam memahami pembelajaran matematika. Pembelajaran inovatif tidak berpatokan pada siswa pandai saja, namun pada semua siswa dengan perbedaan tingkatan kecerdasan. Pembelajaran inovatif mengusahakan kecerdasan di dalam diri siswa itu mampu terasah lebih baik. Ada siswa yang berani mengungkapkan ide-idenya di depan umum. Namun ada pula siswa yang bersifat pemalu. Untuk menghadapinya, guru haruslah terus berusaha menemukan metode yang tepat dan diterima oleh siswa sehingga membuat siswa nyaman dengan kegiatan pembelajaran matematika.
Di dalam pembelajaran inovatif, metode yang digunakan tidak hanya metode diskusi saja, namun dapat menggunakan media yang disesuaikan dengan teknologi pada zaman sekarang, seperti internet melalui blog. Ada pula bentuk latihan, kerja pratik di laboratorium, maupun refleksi di kelas atau di rumah. Selama ini, guru di negeri ini mengaku telah menerapkan metode diskusi dalam pembelajaran di kelas, namun kriteria dari metode diskusi tersebut masih belum tercapai. Hal ini karena dalam praktiknya sebagian besar guru hanya sekedar tanya dan memberikan perintah kepada siswa untuk melakukan sesuatu.
Kini sebagian besar siswa di dalam pembelajaran matematika kehilangan intuisi matematikanya. Intuisi adalah pemahaman, pengetahuan yang tidak dapat dijelaskan. Intuisi dapat didapat dengan pengalaman, pergaulan, baik interaksi dengan lingkungan, ataupun dengan keluarga. Intuisi tersebut ada di dalam tindakan, perkataan, pikiran, dan hati. Di dalam matematika hal yang tidak dapat dijelaskan adalah pengertian pangkal atau dapat dikatakan bersifat intuitif. Hal yang bersifat intuitif dapat dipahami dengan cara memberikan contoh.
Pembelajaran akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan jika diiiringi dengan suatu metode pembelajaran yang sesuai. Selama ini, sistem pembelajaran yang digunakan merupakan sistem pembelajaran tradisional. Untuk menciptakan sistem pembelajaran inovatif, maka guru haruslah mempertimbangkan metode yang akan diterapkan. Metode yang diterapkan oleh guru juga berkaitan dengan cara berpikir. Cara berpikir dapat dibagi menjadi dua, yakni cara berpikir deduksi dan induksi. Berikut penjabaran dari masing-masing cara berpikir tersebut:
1.      Deduksi
      Di dalam pembelajaran matematika murni atau formal, cara berpikir deduksi dapat dilakukan sebagai berikut:
      Pertama-tama menenetapkan definisi, kemudian membuat aksioma yang dilanjutkan dengan pembuatan teorema baru, dan diakhiri dengan memecahkan masalah-masalah atau soal-soal  yang ada.
Di dalam kehidupan sehari-hari, deduksi sebenarnya sangat alami. Sebagai contoh, proses pemikiran ketika pertama kali seseorang bertemu dengan orang asing. Dalam pembelajaran matematika, dapat dikatakan cara deduksi merupakan cara yang memproses kesan umum menuju kepada kesan khusus. Contoh penerapannya adalah di dalam pembelajaran geometri.

2.      Induksi
Berkebalikan dengan deduksi, cara berpikir induksi adalah berusaha menyimpulkan secara umum, yakni menyimpulkan hal kecil-kecil, atau dari kesan khusus ke kesan umum. Siswa menentukan pola, mencari contoh kemudian menerapkan rumus ataupun menerapkan rumus kemudian memahami contoh, merupakan bentuk dari penerapan metode induksi.
Terdapat perbedaan mendasar antara deduksi dan induksi. Dalam rangka memahami, metode yang digunakan adalah metode deduksi. Sedangkan dalam rangka menyimpulkan suatu hal, metode induksi yang digunakan. Namun dalam penggunaanya, induksi dan deduksi saling sinergi.
Dalam hal pembelajaran inovatif, ketika siswa melakukan diskusi kelompok guru sebaiknya memberikan waktu atau kesempatan kepada siswa untuk membahas masalah yang disajikan. Ketika siswa berdiskusi sebaiknya guru tidak memberikan ceramah. Biarkanlah siswa mempunyai waktu sendiri untuk menentukan dan menemukan pengetahuan yang ada pada dirinya bersama teman kelompoknya.
Metode yang sesuai akan membuat siswa merasa nyaman dengan kegiatan pembelajaran matematika. Siswa tidak dijadikan objek pembelajaran namun merupakan subjek pembelajaran, karena matematika tidak lain merupakan pikiran siswa itu sendiri. Dengan begitu siswa dapat mengeksplorasi ide-ide di dalam dirinya. Guru hendaknya memahami siswa dan mengarahkan siswa menuju pada hasil pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan.