Selasa, 26 Februari 2013

Refleksi "Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 10: Architectonic Mathematics (2)"


Di dalam pembelajaran matematika, matematika adalah pikiran siswa itu sendiri. Jadi, siswa berhak untuk memilih bagaimana cara mempelajari matematika dengan mengeksplorasikan ide atau gagasan yang ada di dalam pikiran. Seperti apa yang dikemukakan di dalam artikel di atas, siswa dapat membangun matematika di dalam pemikirannya sendiri. Konsep dari Architectonic Mathematics berasumsi dasar tentang bagaimana seorang siswa memperoleh pemahaman dalam matematika serta mampu membangun konsep matematika baik melalui logika atau pemahaman serta pengamatan terhadap fenomena matematika. Architectonic Mathematics ini tidak berpaku pada diri dari seorang siswa saja melainkan dari siswa-siswa yang ada di dalam pembelajaran matematika bahkan guru yang mana architectonic mathematicsnya bersifat formal abstrak.
Hakikat siswa belajar matematika didapat ketika terjalin suatu interaksi antara subjectivity of mathematics dengan objectivity of mathematics. Hal ini sepeti apa yang dikemukakan oleh Paul Ernest (2002) dalam Bukunya yang berjudul The Philosophy of Mathematics Education. Architectonic Mathematics dapat dibangun dengan berbagai cara diantaranya kegiatan diskusi antar siswa, praktik langsung ataupun memberi kritik. Artikel mengenai Architectonic Mathematics membuka wawasan baru kepada kita sebagai calon guru SD yang dapat dijadikan sebagai suatu pedoman ketika nantinya kita telah dihadapkan dengan realitas kegiatan pembelajaran sebagai guru guna mewujudkan pembelajaran yang inovatif yang mana berorientasi kepada siswa.

Tidak ada komentar: